Rabu, 17 April 2013

Shalat Berjamaah Dapat Menggerakkan Ruhul Jihad




Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) dan para sahabat sedang berjihad memerangi kaum Juhainah. Di sela-sela waktu perang yang melelahkan tersebut, masuklah waktu Zhuhur.
Kaum Muslim segera menunaikan shalat berjamaah. Rupanya ini diketahui oleh musuh. Muncul niat berbuat curang. Mereka berencana menyerang pasukan Rasulullah SAW saat mereka sedang shalat berjamaah. ”Pastilah mereka akan hancur,” pikir mereka.
Mendengar keinginan orang-orang musyrik itu, malaikat Jibril datang memberitahu Rasulullah SAW. Namun anehnya, dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT), rencana kaum kafir tersebut urung terlaksana.
Apa gerangan yang terjadi? Rupanya nyali kaum musyrik mendadak ciut melihat jamaah shalat kaum Muslim yang begitu banyak dan rapi. Rasulullah SAW menceritakan kepada para sahabat apa yang dikatakan kaum musyrik manakala melihat barisan shalat tersebut. ”Sungguh akan datang kepada kita sebuah kaum di mana shalat itu lebih mereka cintai dari pada anak-anak mereka.”
Ini jelas luar biasa. Shalat jamaah rupanya mampu menggetarkan musuh. Jika dalam shalat saja kaum Muslim begitu disiplin, apalagi dalam berperang. Wajarlah jika mereka takut.
Generasi Terbaik
Saat sampai ke tanah hijrah, sarana umum pertama yang dibangun Rasulullah SAW ialah masjid. Ibadah bersama pertama yang ditegakkan dengan para sahabatnya adalah shalat berjamaah.
Sebelumnya, di Makkah, kaum Muslim tak bisa leluasa mengekspresikan gelora iman yang tumbuh di dalam dada. Mereka dikejar-kejar. Mereka tak bisa melaksanakan shalat berjamaah kecuali sembunyi- sembunyi. Bagaimana mungkin Islam akan berkembang dengan kondisi seperti ini?
Setelah hijrah, kerinduan untuk sujud dan ruku’ bersama jamaah mereka tumpahkan. Mereka bebas mengaktualisasikan keimanan. Pilar peradaban dipancangkan, bangunan Islam membawa rahmat ke seluruh alam.
Suatu hari, Abdullah bin Umar RA berkunjung ke pasar. Saat tiba waktu shalat berjamaah, ia melihat setiap orang telah menutup tokonya dan segera pergi ke masjid. Abdullah bin Umar RA berkata, “Mereka inilah orang- orang yang telah disebutkan Allah dalam al-Qur`an (An-Nuur [24]: 37): Laki- laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (pada hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.”
Itulah hasil tarbiyah Rasulullah SAW. Setiap kali memimpin shalat, para sahabat sigap berbaris di belakang beliau. Terlebih dahulu beliau memeriksa barisan itu. “Rapatkan dan luruskan barisan kalian,” kata beliau.
Terkadang dengan tangannya yang lembut, Rasulullah SAW tak segan-segan memegang pundak seorang makmum untuk dirapatkan dengan pundak makmum lainnya. Beliau dengan sungguh-sungguh memastikan setiap mata kaki saling bersentuhan.
Beliau menasehati bahwa shaf yang rapat akan menyatukan jiwa-jiwa kaum Muslimin. Sebaliknya, shaf yang renggang akan diisi setan yang akan memecah belah mereka.
Setelah jamaah dipastikan siap, beliau pun memulai shalat jamaah itu. Beliau bertakbiratul ihram, “Allahu Akbar!” Kaum Muslim pun segera mengikutinya. Mereka kemudian larut dalam samudra al-Fatihah yang berisi dialog agung antara hamba dengan Allah SWT.
Rasulullah SAW tetap mempertahankan shalat berjamaah dalam keadaan sulit sekalipun. Bahkan menjelang ajal datang menjemput, ketika tubuh sudah didera sakit, Rasulullah SAW tetap menjaga shalat berjamaahnya.
Berkali-kali beliau jatuh dan berkali-kali pula beliau berusaha bangun untuk berwudhu. Semua halangan itu tak membuat beliau jauh dari masjid. Bahkan dengan susah payah dan tertatih-tatih, dibantu Abbas RA serta seorang sahabat lainnya, beliau tetap saja pergi shalat berjamaah. Imam shalat waktu itu adalah Abu Bakar RA. (Shahihain).
Melahirkan Kader
Dakwah Rasul SAW seperti itulah yang diikuti almarhum Ustadz Abdullah Said, pendiri harakah Hidayatullah, saat membuka hunian baru yang masih penuh semak belukar di Kalimantan Timur.
Apa yang pertama kali dibangun di tempat yang baru itu? Sebagaimana Rasul SAW saat tiba di tempat hijrah, Abdullah Said pun membangun masjid. Dan, di masjid itulah shalat jamaah selalu ditegakkan, bahkan menjadi kegiatan paling utama di hunian tersebut.
Yang menarik dari shalat jamah yang Abdullah Said jalankan adalah ruku’ dan sujud yang lama. Terlebih saat shalat lail (malam), bisa lebih lama lagi. Dialog yang disampaikan kepada Sang Khaliq lewat ruku’ dan sujud rasanya sayang sekali jika dilakukan dalam waktu singkat. ”Jangan bangkit dari sujud sebelum menerima jawaban dari Allah,” pesannya kepada para santri.
Menurut Abdullah Said, shalat berjamaah laksana mengisi baterei ruhani, kesempatan paling baik untuk memohon petunjuk dan menyampaikan permintaan kepada Sang Pencipta. ”Ibarat kita mengisi Daftar Isian Proyek sekaligus memohon restu-Nya.” Begitu ia memberi umpama.
Upaya Abdullah Said menegakkan shalat berjamaah secara istiqamah, menuai hasil. Sikap patuh kepada imam, tak menyerah oleh tantangan seberat apa pun, selalu berkoordinasi dengan jamaah, bisa ditanamkan dalam diri santri-santrinya.
Modal finansial ’nol’ bukan menjadi halangan untuk membangun sebuah hunian. Semak belukar disulap menjadi hunian yang asri. Bahkan dari hunian yang asri itulah dakwah menyusup hingga ke daerhan-daerah terpencil. Tak ada santri yang menolak ketika diminta membuka cabang Hidayatullah baru di daerah-daerah perbatasan, lalu menebar dakwah di sana.
Subuh Keliling
Lain lagi cerita di Ketapang, Kalimantan Selatan. Saat waktu menunjuk pukul 03.00, jalan-jalan menuju masjid mulai ramai oleh mobil dan motor. Rupanya penduduk di sana saling membangunkan untuk shalat Subuh berjamaah. Mereka menamakan diri jamaah suling, alias subuh keliling.
Kegiatan ini digagas oleh Haji Uti Konsen dan teman-temannya. Awalnya, niat mereka sekadar mengajak masyarakat memakmurkan shalat berjamaah, khususnya shalat Subuh. Maklum, di antara shalat lima waktu, shalat Subuh biasanya paling sepi jamaahnya. Tak jarang yang terlihat hanya satu atau dua orang saja. Padahal masjidnya besar dan megah.
Haji Uti dan teman-temannya sepakat untuk shalat Subuh secara berkeliling sambil bersilaturrahim dari satu masjid ke masjid lainnya. Ternyata dari beberapa masjid yang disinggahi kian banyak orang yang ikut. Dan, masjid- masjid yang ditempati pun kian makmur shalat berjamaahnya.
Lama kelamaan, kegiatan seperti ini menjalar dari satu kelurahan ke kelurahan yang lain. Ada jamaah suling kecil, yaitu gabungan dari beberapa masjid dan mushalla di satu kelurahan, ada juga jamaah suling besar, yaitu gabungan semua mushalla dan masjid di seluruh kota Ketapang.
Jamaah suling besar berkumpul setiap Sabtu dan Ahad. Jumlahnya bisa mencapai lebih dari 500 orang, meluber sampai ke halaman masjid. Persis seperti shalat Jumat.
Kini jamaah suling menjadi salah satu keunikan di Ketapang. Rasanya tak lengkap ke sana kalau belum menikmati suasana jamaah suling. Mendatangi masjid dini hari, menjalankan shalat lail, dilanjutkan Subuh berjamaah, mendengar kuliah subuh, dan ramah tamah dengan para jamaah. Suasananya sejuk penuh persaudaraan.
Jika seluruh umat Islam di muka bumi bisa menyerap dan merasakan dahsyatnya energi shalat berjamaah, tentulah kita bisa memiliki kekuatan besar untuk menyelamatkan peradaban dunia. Seperti kata seorang penguasa Yahudi: “Kami baru takut terhadap umat Islam jika mereka telah melaksanakan shalat Subuh seperti melaksanakan shalat Jumat.” (Buku Misteri Salat Subuh oleh Dr Raghib As-Sirjani). Semoga. Wallahu a’lam bish Shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar